Selasa, 25 Februari 2014

Cagar Budaya Kalimantan Timur

Samarinda

Klenteng Thien Ie Kong

Kelenteng Thien Ie Kong yang berada di Samarinda dan dibangun sejak jaman penjajahan Belanda. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1905 tersebut masih berdiri kokoh walaupun pernah hampir terkena  bom Jepang yang dijatuhkan untuk menghancurkan pabrik pengolahan minyak goreng yang berada dibelakang kelenteng, Kelenteng yang berada di Jalan Yos Sudarso Samarinda terletak di  muara Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam ini bahan bangunannya  terbuat dari kayu yang  didatangkan khusus dari negeri Cina. Bahkan, rangkaian bangunan sudah dibuat dari negeri asalnya.
Di Samarinda, kayu-kayu tersebut dirangkai menjadi satu. Uniknya, sambungan rangka tiang pada bangunan ini tidak menggunakan paku dari besi. Semuanya menggunakan pasak kayu, bahkan  engsel pintu pun terbuat dari kayu. “Kelenteng ini tidak saja selalu ramai oleh wargaTionghoa, tetapi juga masyarakat yang sekitar yang ingin bersantai di bagian belakang klenteng. Para orangtua sering melakukan pertemuan di gazebo dan para remaja berolahraga,” jelas Sugeng Haryono.(vb/yul)

Masjid Shiratal Mustaqiem
Pada tahun 1880, Said Abdurachman bin Assegaf dengan gelar Pangeran Bendahara, seorang pedagang muslim dari Pontianak, datang ke Kesultanan Kutai. Ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya dan ditanggapi oleh Sultan Kutai saat itu,Aji Muhammad Sulaiman setelah melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalankan syariat Islam.
Pada masa itu, Samarinda Seberang cukup dikenal sebagai daerah arena judi, baik sabung ayam pada siang hari atau pun judi dadu pada malam hari. Selain itu, peredaran minuman keras juga marak di kawasan Samarinda Seberang sehingga menimbulkan keresahan warga sekitar, karena bisa merusak citra Samarinda Seberang sebagai syiar Islam. Warga kampung hampir tak ada yang berani ke kawasan ini karena takut. Namun, Pangeran Bendahara mendatangi mereka untuk mengajak menjalankan syariat Islam.
Pangeran Bendahara dan tokoh masyarakat setempat berunding untuk mencari jalan keluar agar Samarinda Seberang bersih dari aktivitas itu. Dalam perundingan disepakati, lahan seluas 2.028 meter persegi di sana akan didirikan masjid.
Setahun kemudian, pada 1881, empat tiang utama (soko guru) mulai dibangun oleh Said Abdurachman bersama warga. Konon katanya, berdirinya empat tiang itu karena bantuan seorang nenek misterius yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Kala itu, banyak warga yang tak mampu mengangkat dan menanamkan tiang utama. Berkali-kali dilakukan, tetap saja gagal. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang perempuan berusia lanjut. Dengan tenang dia mendekati warga yang sedang gotong royong. Nenek tadi meminta izin kepada warga untuk mengangkat dan memasang tiang. Warga yang mendengar ucapan sang nenek, langsung tertawa. Namun Said Abdurachman malah sebaliknya. Dia menyambut kedatangan nenek itu. Said pun meminta warga untuk memperkenankan si nenek untuk melakukan apa yang diinginkan. Nenek pun meminta warga dan Said Abdurachman balik ke rumah masing-masing.
Esok harinya usai salat Subuh, warga berbondong-bondong mendatangi lokasi pembangunan masjid. Seperti tak percaya, empat tiang utama telah tertanam kokoh. Warga pun kaget, tapi tak satu pun orang yang mampu menemukan keberadaan nenek itu. Setelah itu, Said Abdurachman dan tokoh masyarakat membangun masjid. Selama sepuluh tahun, pada 1891, atau tepat pada 27 Rajab 1311 Hijriyah, akhirnya Masjid Shirathal Mustaqiem rampung dari pengerjaannya. Sultan Kutai Adji Mohammad Sulaiman, sekaligus menjadi imam masjid pertama yang memimpin salat.
Setelah bangunan masjid rampung, pada 1901 Henry Dasen, seorang saudagar kaya berkebangsaan Belanda, memberikan sejumlah hartanya untuk pembangunan menara masjid berbentuk segi delapan, setinggi 21 meter. Menara itu berdiri tepat di belakang kiblat masjid. 
 
Sumber:
http://www.pariwisatakaltim.com/seni-budaya/cagar-budaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar