Samarinda
Klenteng Thien Ie Kong
Kelenteng
Thien Ie Kong yang berada di Samarinda dan dibangun sejak jaman
penjajahan Belanda. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1905 tersebut
masih berdiri kokoh walaupun pernah hampir terkena bom Jepang yang
dijatuhkan untuk menghancurkan pabrik pengolahan minyak goreng yang
berada dibelakang kelenteng, Kelenteng yang berada di Jalan Yos Sudarso
Samarinda terletak di muara Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam ini
bahan bangunannya terbuat dari kayu yang didatangkan khusus dari
negeri Cina. Bahkan, rangkaian bangunan sudah dibuat dari negeri
asalnya.
Di
Samarinda, kayu-kayu tersebut dirangkai menjadi satu. Uniknya,
sambungan rangka tiang pada bangunan ini tidak menggunakan paku dari
besi. Semuanya menggunakan pasak kayu, bahkan engsel pintu pun terbuat
dari kayu. “Kelenteng ini tidak saja selalu ramai oleh wargaTionghoa,
tetapi juga masyarakat yang sekitar yang ingin bersantai di bagian
belakang klenteng. Para orangtua sering melakukan pertemuan di gazebo
dan para remaja berolahraga,” jelas Sugeng Haryono.(vb/yul)
Masjid Shiratal Mustaqiem
Pada
tahun 1880, Said Abdurachman bin Assegaf dengan gelar Pangeran
Bendahara, seorang pedagang muslim dari Pontianak, datang ke Kesultanan
Kutai. Ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya
dan ditanggapi oleh Sultan Kutai saat itu,Aji Muhammad Sulaiman setelah
melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalankan
syariat Islam.
Pada
masa itu, Samarinda Seberang cukup dikenal sebagai daerah arena judi,
baik sabung ayam pada siang hari atau pun judi dadu pada malam hari.
Selain itu, peredaran minuman keras juga marak di kawasan Samarinda
Seberang sehingga menimbulkan keresahan warga sekitar, karena bisa
merusak citra Samarinda Seberang sebagai syiar Islam. Warga kampung
hampir tak ada yang berani ke kawasan ini karena takut. Namun, Pangeran
Bendahara mendatangi mereka untuk mengajak menjalankan syariat Islam.
Pangeran
Bendahara dan tokoh masyarakat setempat berunding untuk mencari jalan
keluar agar Samarinda Seberang bersih dari aktivitas itu. Dalam
perundingan disepakati, lahan seluas 2.028 meter persegi di sana akan
didirikan masjid.
Setahun
kemudian, pada 1881, empat tiang utama (soko guru) mulai dibangun oleh
Said Abdurachman bersama warga. Konon katanya, berdirinya empat tiang
itu karena bantuan seorang nenek misterius yang hingga kini belum
diketahui keberadaannya. Kala itu, banyak warga yang tak mampu
mengangkat dan menanamkan tiang utama. Berkali-kali dilakukan, tetap
saja gagal. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang perempuan berusia
lanjut. Dengan tenang dia mendekati warga yang sedang gotong royong.
Nenek tadi meminta izin kepada warga untuk mengangkat dan memasang
tiang. Warga yang mendengar ucapan sang nenek, langsung tertawa. Namun
Said Abdurachman malah sebaliknya. Dia menyambut kedatangan nenek itu.
Said pun meminta warga untuk memperkenankan si nenek untuk melakukan apa
yang diinginkan. Nenek pun meminta warga dan Said Abdurachman balik ke
rumah masing-masing.
Esok
harinya usai salat Subuh, warga berbondong-bondong mendatangi lokasi
pembangunan masjid. Seperti tak percaya, empat tiang utama telah
tertanam kokoh. Warga pun kaget, tapi tak satu pun orang yang mampu
menemukan keberadaan nenek itu. Setelah itu, Said Abdurachman dan tokoh
masyarakat membangun masjid. Selama sepuluh tahun, pada 1891, atau tepat
pada 27 Rajab 1311 Hijriyah, akhirnya Masjid Shirathal Mustaqiem
rampung dari pengerjaannya. Sultan Kutai Adji Mohammad Sulaiman,
sekaligus menjadi imam masjid pertama yang memimpin salat.
Setelah
bangunan masjid rampung, pada 1901 Henry Dasen, seorang saudagar kaya
berkebangsaan Belanda, memberikan sejumlah hartanya untuk pembangunan
menara masjid berbentuk segi delapan, setinggi 21 meter. Menara itu
berdiri tepat di belakang kiblat masjid.
Sumber:
http://www.pariwisatakaltim.com/seni-budaya/cagar-budaya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar