Selain kuliner khas seperti amplang, produk kerajinan daerah Kaltim
merupakan favorit wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun, saat ini,
salah satu komoditas unggulan untuk kalangan pelaku UMKM lokal itu, kini
seperti kehilangan gairah. Alih-alih bersaing dengan pengusaha asing,
produksi kerajinan lokal bahkan lebih banyak dijalankan masyarakat luar
daerah.
NUR RAHMAN, Samarinda
SUVENIR khas Kaltim, justru bukanlah bisnis utama
para pedagang kerajinan lokal. Sebagian besar omzet, justru ditopang
pemasukan dari penjualan batu permata yang merupakan kerajinan khas
provinsi tetangga, yakni Kalimantan Selatan.
Pilihan tersebut memang terpaksa diambil para pengusaha mengingat
gairah pasar komoditas ini tak seantusias beberapa waktu silam. Tak
hanya serapan pasar, produsen kerajinan khas Kaltim pun seakan telah
jenuh mengembangkan produk yang sebenarnya memiliki banyak peminat itu
dari luar daerah itu.
Kholis Darul Quthbi, salah satu pengusaha kerajinan mengatakan, untuk
mendapatkan barang kerajinan seperti perhiasan dan ukiran, dia mengaku
harus menyediakan modal untuk membayar para pengrajin. Padahal, beberapa
tahun lalu, kata dia, para pengrajin berlomba-lomba menitipkan karya
mereka di lapaknya.
“Sekarang, ada uang ya ada barang. Itupun, harus jauh-jauh hari karena
pengerjaannya memakan waktu,” ucapnya. Panjangnya waktu pembuatan
disebut Kholis disebabkan semakin berkurangnya jumlah pengrajin di
Samarinda dan sekitarnya. “Makin tahun, seperti tidak ada yang
melanjutkan memproduksi kerajinan. Padahal, saya sering mendapat
permintaan dalam jumlah banyak yang datangnya secara mendadak,” ujarnya.
Kurangnya tenaga pengrajin itu juga, lanjut dia, yang membuat harga
hasil kerajinan asli Kaltim semakin tinggi. Celah ini membuat para
pengrajin produk serupa dari luar daerah mulai “membajak” beberapa
kerajinan khas Kaltim.
“Ada yang dari Jawa, ada juga dari Sulawesi. Bahkan, saya dengar,
produksi mereka sudah tembus hingga ke Malaysia,” kata dia. Tingginya
animo masyarakat luar daerah menggarap motif-motif khas Kalimantan,
membuat mereka barang “tiruan” tersebut memiliki harga lebih bersaing.
“Saking jauhnya selisih harga, beberapa pengusaha di Samarinda juga
ada yang memilih memasok barang dari luar Kaltim. Daripada mengharapkan
pengrajin lokal, sudah harganya lebih tinggi, kerja sama juga tak bisa
dilakukan berkelanjutan,” beber pemilik toko suvenir Dewi Indah itu.
Menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN, sarjana ekonomi itu
mengaku pasrah. “Memproduksi kerajinan daerah saja, pengrajin kalah
bersaing dengan daerah lain. Jika ditambah pengusaha asing, saya hanya
bisa mengandalkan kedekatan dengan pelanggan saja,” urainya.
Kepercayaan pasar itulah yang disebut Kholis menjadi senjata utama
mereka untuk konsisten menjual kerajinan khas Kaltim. “Untungnya, saya
sudah 20 tahun lebih berbisnis seperti ini. Kalau baru mulai sekarang,
saya rasa berat menjalankannya. Apalagi nanti akan ada pesaing dari luar
negeri,” tandasnya.
Sementara itu, pengusaha kerajinan lainnya, Rasyid Fikri menuturkan,
karena sepi peminat, dirinya kini lebih memilih menjajakan kerajinan
dari Kalimantan Selatan. “Saya memang masih menjual suvenir khas Kaltim,
seperti gelang, kalung, dan kerajinan lainnya yang berbahan manik,”
ucapnya.
Namun, untuk menopang usahanya, dia mengaku penghasilannya lebih
banyak didapat dari penjualan permata dan emas putih. “Barang-barang
kerajinan biasanya hanya laris saat ada event tertentu saja. Pada
hari-hari biasa, hanya barang-barang kecil yang laku,” ucap pengusaha
yang memiliki lapak di Mal Mesra Indah itu.
Sama seperti Kholis, Fikri juga menyebut membeli beberapa hasil
kerajinan yang diproduksi luar daerah. “Tapi tetap khas Kaltim, seperti
kerajinan manik dan batik Kalimantan. Desainnya di sini, hanya
diproduksinya yang di Jawa,” kata dia.
Langkah itu dia lakukan agar mendapatkan barang dengan harga lebih
murah. “Kalau diproduksi di sini, harganya lebih mahal. Kalau harganya
sama saja, saya pasti beli produk asli Kaltim,” tuturnya.
Selain itu, konsistensi suplai juga menjadi alasan Fikri lebih memilih
memasok dari Pulau Jawa. “Tak banyak pengrajin lokal kita bisa
memproduksi terus menerus. Sementara, saya harus tetap memenuhi
permintaan untuk menjaga kepercayaan pasar,” lanjutnya. (lhl/*/k1)